Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2013

Menuju Perhentian Akhir

Kau dan aku sama. Berjalan. Mencoba menyusuri pengembaraan. Sejuta tangan mengajak serta. Dan sejuta tangan pula menggiring ke neraka. Seribu mata memandang perangah. Haruskah berpayah-payah? Kau dan aku sama. Mendebat arah. Berpusing ria di tempat semula. Selaksa suara berbisik menggoda. Dan seribu jua kibuli kita dalam dusta. Sebaris telinga menyimak tak percaya. Haruskah sedemikian susah? Perjalanan Panjang Kita lewati satu demi satu : stasiun dan peron-peron persinggahan . Kita tatap wajah -wajah puas dan cemas. Juga sederet mimik bias. Seakan-akan di sanalah ujungnya. Seakan-akan di situlah muaranya. Dan kereta kembali berjalan. Meninggalkan pengkhayal di tepian. Menyeret pecundang di lintasan. Menampung pejuang di bangku-bangku rotan gerbong harapan. Dan pastinya : kau dan aku sama . Kita meraba dengan segenap peluh yang ada. Kita merasa lewat selusin penat yang melanda. Kita sama-sama menuju sana : perhentian akhir yang jingga . Sembari kita menunggu surya jatuh ke

Kidung Buana*

Tanpa kata. Hanya irama alun menggema. Tanpa rima. Biarkan hasrat riang berterka : pada matahari . Pada langit pagi . Pada puisi yang remah berbangkit di hati . Tanpa hirau. Hanya hening bak malam di atas danau. Tanpa gurau. Biarkan wajah merangkak melepas galau : pada nebula mimpi . Pada semburat partikel janji . Pada sepadang misteri racik simphoni. Tanpa puja. Hanya sepasang telinga khusyuk menjamah. Tanpa damba. Biarkan jiwa lepas memepah : segala duka . Segala luka . Segala dusta yang mewabah di dunia . Dan akhirnya. Orkestra masih bersuara. Merayap dari argadwipa. Menuju kekosongan jiwa.      Kidung Buana ... *Terinspirasi Highland , dipopulerkan Yanni (Album " If I Could Tell You ", 2000)

Misteri Lelucon Hari Ini

Berita Hari Ini Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Pasti enigma lagi. Kemarin kau kenyang dijejali Century. Kali ini ku jamin kau renyang disuguhi Bunda Putri. Esok, tentang apa lagi? Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Pasti kegundahan lagi. Kemarin kau resah melihat pangeran muda kita dikitari korupsi. Bagaimana soal cemoreng di muka pengawal konstitusi? Esok, siapa lagi? Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Pasti keriuhan lagi. Kemarin kau muak dengar pekik atraksi si Bintang Mercy. Kini kau sebah simak hujan maki bagi Ahok-Jokowi. Esok, apa lagi? Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Selain TKI diancam pancung. Selain lahan tani yang murung. Selain kegamangan langkah yang masih saja di kedua tungkai kaki kita mengerubung. Ada lagikah yang kau dapati detik ini?      Selamat datang di misteri lelucon hari ini ! Semoga kau tak bosan menikmati! Aamiin. Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Dies Natalis Tirani Reformasi

Dulu kupikir pergolakan suara itu akhir segalanya. Aku salah. Dia awal dari semuanya! Kakakku kerap berkata : "Orde Baru harus musnah demi kehidupan yang cerah." Aku sangat mempercayainya. Hingga di hari ia berangkat ke medan laga, hingga pelukan terakhirnya di rengkuhan lenganku. Hingga ketika bayangan punggungnya hilang di pertigaan jalan. Hingga detik itu aku masih yakin pada perkataannya. Dan jasadnya teronggok di dalam peti kayu. Bisu. Muram dan kelabu. Di televisi begitu gaduh. Entah senjata, entah pekik laknat pada sang raja. Ku mengacuh. Ku hanya ingin memandangi muka kakak lelakiku sekali lagi. Ku hanya ingin memandangi parasnya 'tuk terakhir kali. Apa Guna Pengorbanan Itu? Dan dulu kupikir pertumpahan darah itu akhir segalanya. Aku salah. Dia awal dari semuanya! Raung merdeka dan sujud syukur bergema di mana-mana. Mahkota raja berpindah sementara teriak memaki masih meninggi. Revolusi lancar setengah misi. Dan perjuangan masih panjang lagi. Tiba

Togata* Derita Anak Manusia

Raut Wajah Kota Suara kota memekik. Suara ambisi lantang meringkik. Seribu wajah. Seribu langkah. Pucat pasrah melupa tengadah. Tuhan tak bisa diandalkan hari ini. Kata mereka dalam hati. Suara kota menjerit. Suara desak menajam ke langit. Sejuta kata. Sejuta babak cerita mengalur bak hulu sungai menuju samudera. Tumpang gelimpang telanjang. Kebaikan bukan saatnya terpajang. Kata mereka di kepala. Di gedung-gedung; di meja-meja. Di jalanan buas dan serakah. Di trotoar yang meniupkan angin jengah. Mereka tak pernah puas menghambakan diri. Tunduk pada siapa, rutuk pada siapa. Detik jam serasa kejam. Detik jam laksana lubang nasib yang suram. Yang kusam... Togata derita anak manusia . Fabula mereka tercatat dalam peliknya sejarah. Tak ada yang menyadarinya. Atau, tak ada yang mengakuinya? Tuhan datang dengan kemerdekaanNya. Agama hadir dengan kebebasannya. Dan manusia hadir dengan membelenggukan dirinya. Entah sampai bila lelucon ini begini. Catatan : *) Jenis fabula (isti

Sepasang Remaja dan Besikal Tua

Mereka tertawa menembusi kegarangan dunia Menyusuri lorong-lorong tanda tanya; melewati keheningan tanpa kata Padang-padang perhentian sinis menyapa Dan. Itulah mereka Masih bermanja di atas besikal tua Hidup Sederhana Roda-roda menapaki alam semesta Tak duli cabaran kemarau menggila; pun pula gemparan penghujan mendera Sekotak tulus menghembus Jadi angin segar di tengah busuk buruknya suara dengus Danau-danau persinggahan mengusir nyinyir Dan. Itulah mereka Masih bermesra di atas besikal tua Pahatan janji terlukis di bintang-bintang Ukiran sumpah tersurat di gelombang samudera Apalah guna bisik-bisik jikalau hati tak lagi terusik? Apalah guna sejuta pekik :      Bukankah asmara tak punah karena selusin dengki meringkik? Lembah-lembah harapan tersenyum ramah Dan. Itulah mereka Tetap merenda di atas besikal tua Ya. Itulah dia Sepasang remaja dan besikal tua mereka Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi *Terinspirasi Lagu Hidup Sederhana (Basikal Tua) di

Kelakar Sepi

Seorang lelaki. Berkelakar dengan sepi . Sendiri. Sendiri. Sendiri... Dia bertanya pada malam hari, "dimana kasih?" Sayang. Bintang bisu berdiam diri. Dia bertanya pada angin lirih, "dimana hati?" Sayang. Udara pucat pasi. Dia kembali berkelakar dengan sepi. Sendiri. Sendiri. Sendiri...                      ... menunggu pagi hari...